Layanan Publik Minim Akses, Perempuan Rentan Terpinggirkan
Layanan publik yang tersedia di banyak wilayah Indonesia masih belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan perempuan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan atau kawasan terpencil. Banyak dari mereka harus menempuh jarak yang jauh hanya untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, atau perlindungan hukum. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan akses yang berdampak langsung pada kualitas hidup perempuan, terutama dari kelompok rentan. Kurangnya transportasi umum, fasilitas yang tidak ramah ibu hamil atau penyandang disabilitas, hingga jam operasional yang tidak fleksibel semakin mempersempit ruang gerak mereka untuk mengakses hak dasar. Padahal, dalam banyak kasus, perempuan merupakan pilar keluarga yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga lainnya.
Ketimpangan Akses Picu Krisis Kepercayaan terhadap Sistem
Keterbatasan fasilitas yang layak dan minimnya responsivitas penyelenggara layanan menciptakan ketidakpercayaan dari masyarakat. Di berbagai daerah, warga mengeluhkan sulitnya memperoleh bantuan sosial, layanan kesehatan ibu dan anak, serta perlindungan hukum yang adil dan cepat. Pelayanan yang lambat, prosedur birokrasi yang berbelit, dan sikap diskriminatif dari petugas menjadi hambatan utama yang harus segera di tangani. Kondisi ini tidak hanya memperburuk ketimpangan gender, tetapi juga menciptakan jurang yang lebih dalam antara negara dan warganya.
Selain itu, pendekatan yang digunakan masih cenderung seragam tanpa mempertimbangkan kebutuhan berbasis gender. Misalnya, ruang menyusui yang tidak tersedia di kantor layanan publik atau ketiadaan tenaga medis perempuan di puskesmas tertentu. Hal ini mendorong sebagian perempuan memilih tidak datang sama sekali karena tidak merasa aman atau nyaman. Dalam jangka panjang, akses terbatas ini akan menurunkan partisipasi perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi.
Infrastruktur dan Regulasi Belum Sejalan dengan Realita Lapangan
Meskipun regulasi untuk menjamin kesetaraan dalam pelayanan sudah di terbitkan, implementasinya belum merata. Beberapa pemerintah daerah belum mengalokasikan anggaran khusus untuk membangun sarana yang inklusif dan ramah perempuan. Ketimpangan ini paling terlihat di daerah-daerah dengan sumber daya terbatas, di mana pembangunan infrastruktur masih mengandalkan dana pusat yang distribusinya tidak merata. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa kebijakan yang di keluarkan dapat di operasionalkan di daerah dengan mempertimbangkan kondisi lokal.
Di sisi lain, literasi layanan masih rendah di kalangan perempuan, terutama mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Kurangnya sosialisasi mengenai hak atas layanan dan bagaimana prosedurnya membuat mereka enggan memanfaatkan fasilitas yang ada. Maka dari itu, kolaborasi antara lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil penting di dorong agar informasi sampai ke masyarakat akar rumput. Sosialisasi yang berkelanjutan dan berbasis komunitas terbukti lebih efektif dalam membangun kepercayaan serta mendorong partisipasi.
Dorongan Perubahan Butuh Aksi Kolektif, Bukan Sekadar Narasi
Perubahan dalam sistem pelayanan tidak akan berjalan hanya dengan wacana. Butuh dorongan dari berbagai sektor untuk menciptakan layanan yang benar-benar adil dan dapat di akses oleh semua kalangan, tanpa kecuali. Pemerintah harus lebih proaktif dalam melibatkan kelompok perempuan dalam proses penyusunan kebijakan dan evaluasi pelayanan. Selain itu, pelatihan petugas layanan untuk memahami pendekatan berbasis inklusi perlu di percepat. Melalui langkah nyata dan kolaboratif, kesenjangan akses terhadap layanan dasar dapat di kurangi secara bertahap, dan perempuan pun bisa memperoleh ruang yang setara dalam pembangunan nasional.